Tari Seblang bukanlah satu-satunya tari tradisional
Indonesia yang diadakan sebagai ungkapan rasa syukur atas kesuburan tanaman
yang mereka peroleh. Dalam budaya Jawa-Mataraman dikenal yang namanya upacara
'Bersih Desa'. Pada budaya Jawa non-Mataraman, dikenal pula upacara 'Sedekah
Bumi'. Di Bugis-Makassar, ada upacara bernama Mappalili. Dalam budaya Suku Dayak Kenyah yang berada di
Kalimantan Timur ada pula upacara kesuburan yang disebut Lepeq Majau. Di Bali ada upacara 'Mungkah', 'Mendak Sari'
atau 'Muat Emping Ngaturan Sari'.
Simbol kesuburan dilambangkan dengan sesosok dewi cantik
jelita bernama Dewi
Sri. Lain daerah, lain pula nama simbol padi dan kesuburannya. Dalam budaya
Jawa, ada simbol yang bernama Nini Thowok. Pada budaya Sunda, dikenal dewi
bernamaNyi Pohaci Sangiang Sri Dangdayang Tisnawati. Pada budaya Dayak, simbol
padi dan kesuburan dilambangkan dengan penokohan 'Bini Kabungsuan'.
Tokoh Dewi Sri dalam budaya kesuburan adalah sakral.
Folklore tiap daerah pun mempunyai versi yang berbeda tentang Dewi ini. Dalam
folklore Sunda, Dewi Sri lahir dari sebutir telur dari air mata seorang Dewa
cacat bernama Dewa Anta. Konon, saking cantiknya sang Dewi, raja para Dewa;
Bathara Guru, jatuh cinta dan ingin mengawininya. Namun niat itu digagalkan
oleh dewa lain dengan cara membunuh Dewi Sri dan menguburkannya di bumi.
Beberapa hari kemudian, dari kuburannya muncul beberapa jenis tanaman pangan.
Dari bagian kepala, munculah kelapa. Dari bagian mata, tumbuh padi biasa. Dari
dadanya, muncullah padi ketan. Dari kemaluannya tumbuh pohon enau dan dari
bagian lain muncullah rerumputan. Kejadian di daerah lain, hampir sama, yakni
sosok sentral wanita meninggal. Lalu dari kuburannya muncul tanaman-tanaman
pangan.
Bukan hanya di Indonesia, Curt Sachs sang
penulis buku World History of the Dance mengungkapkan bahwa jauh
sebelum Masehi, para 'Shaman' telah menciptakan hujan dengan ritual tari
gembira. Kalau anda penasaran seperti apa ghost dance atau rain dance ini,
tengoklah sosok Jim Morrison - JIM MORRISON (THE DOORS)
INDIAN DANCE 1968 - saat sedang tampil di atas panggung dan dalam
keadaan trance. Morrison yang terobsesi dengan budaya Indian akan menari-nari
liar. Itulah 'ghost dance'.
Di suku Amazon , ada tari bernama Tari 'Itogapuk'. Tari ini
membentuk gerakan laki-laki dan perempuan yang saling bersatu, melingkari
sebuah tanaman, saling menempelkan pinggul lalu sang penari perempuan digendong
untuk kemudian dibawa pergi.
Ben
Suharto, sang penulis buku 'Tayub' ; Pertunjukan dan Ritus Kesuburan,
mengungkapkan bahwa tari ritual kesuburan selalu berusaha mencapai suatu sikap
mistis tentang seksual dengan cara mendekatkan manusia berbeda kelamin atau
dengan cara saling melingkari.
Tari Seblang pun, melambangkan kesuburan dengan simbol
mahkota yang dipakai oleh sang penari yang dihias dengan kembang aneka warna
yang melambangkan kesuburan. Seperti terdapat pada petikan dari sebuah naskah
kuno bernama 'Atharvaveda' yang berbunyi "Perempuan datang sebagai lahan
hidup; taburkanlah benih ke dalamnya, oh para lelaki." Satu kesimpulan
yang bisa ditarik dari sini adalah betapa wanita merupakan sosok penting dalam
mitos kesuburan, baik kesuburan tanaman maupun kesuburan reproduksi.
Ritual Seblang
Pada awalnya kesenian Seblang merupakan bentuk kesenian
berdasarkan mithologi, konon seblang adalah sisa dari kebudayaan para Hindu
yang banyak dianut oleh masyarakat Indonesia pada masa lampau.
Menurut cerita dahulu Seblang dilakukan di setiap desa di
Banyuwangi , sekarang hanya dapat dijumpai di dua desa dalam lingkungan
kecamatan Glagah, Banyuwangi, yakni desa Bakungan dan Olihsari (
Olehsari ). Walaupun ada beberapa perbedaan diantara keduanya, tetapi pada
dasarnya berintikan sama, yaitu : memanggil Roh Halus untuk menari melalui
wadag seorang perempuan.
Upacara Seblang biasa dilakukan di pedesaan, konon pada abad
ke XVI pernah dipindahkan ke istana oleh seorang bangsawan Blambangan yang
bernama 'LOKENTO'. Tetapi Seblang yang dilakukan di Pendopo Kadipaten dan
dikenal orang dengan nama "Seblang Lokento" itu kini telah musnah.
Ritual ini dilaksanakan untuk keperluan bersih desa dan
tolak bala, agar desa tetap dalam keadaan aman dan tentram. Ritual ini sama
seperti ritual 'Sintren' di wilayah Cirebon, Jaran Kepang, dan Sanghyang di
Pulau Bali.
Penyelenggaraan tari Seblang di dua desa tersebut juga
berbeda waktunya, di desa Olihsari diselenggarakan satu minggu setelah Idul
Fitri, sedangkan di desa Bakungan yang bersebelahan, diselenggarakan seminggu
setelah Idul Adha.
Para penarinya dipilih secara supranatural oleh dukun
setempat, dan biasanya penari harus dipilih dari keturunan penari seblang
sebelumnya. Di desa Olihsari, penarinya haruslah gadis yang belum akil baliq,
sedangkan di Bakungan, penarinya haruslah wanita berusia 50 tahun ke atas yang
telah mati haid (menopause).
Tari Seblang ini sebenarnya merupakan tradisi yang sangat
tua, hingga sulit dilacak asal usul dimulainya. Namun, catatan sejarah
menunjukkan bahwa Seblang pertama yang diketahui adalah 'Semi', yang juga
menjadi pelopor tari Gandrung wanita pertama (meninggal tahun 1973). Setelah
sembuh dari sakitnya, maka nazar ibunya (Mak Midah atau Mak Milah) pun harus
dipenuhi, Semi akhirnya dijadikan seblang dalam usia kanak-kanaknya hingga
setelah menginjak remaja mulai menjadi penari Gandrung. ( lihat - Semi: Peletak
Dasar Gandrung Banyuwangi ).
Tari Seblang ini dimulai dengan upacara yang dibuka oleh
sang dukun desa atau pawang. Sang penari ditutup matanya oleh para ibu-ibu yang
berada dibelakangnya, sambil memegang tempeh (nampan anyaman dari bambu). Sang
dukun mengasapi sang penari dengan asap dupa sambil membaca mantera. Setelah
sang penari kesurupan (taksadarkan diri atau 'kejiman' dalam istilah lokal),
dengan tanda jatuhnya tempeh tadi, maka pertunjukan pun dimulai. Si seblang
yang sudah kejiman tadi menari dengan gerakan monoton, mata terpejam dan
mengikuti arah sang pawang atau dukun serta irama gendhing yang dimainkan.
Kadang juga berkeliling desa sambil menari. Setelah beberapa lama menari,
kemudian si seblang melempar selendang yang digulung ke arah penonton, penonton
yang terkena selendang tersebut harus mau menari bersama si Seblang. Jika
tidak, maka dia akan dikejar-kejar oleh Seblang sampai mau menari.
Musik pengiring Seblang hanya terdiri dari satu buah
kendang, satu buah kempul atau gong dan dua buah saron. Sedangkan di Olihsari
ditambah dengan biola sebagai penambah efek musikal. Dari segi busana, penari
Seblang di Olihsari dan Bakungan mempunyai sedikit perbedaan, khususnya pada
bagian omprok atau mahkota.
Pada penari Seblang di desa Olihsari, omprok biasanya
terbuat dari pelepah pisang yang disuwir-suwir hingga menutupi sebagian wajah
penari, sedangkan bagian atasnya diberi bunga-bunga segar yang biasanya diambil
dari kebun atau area sekitar pemakaman, dan ditambah dengan sebuah kaca kecil
yang ditaruh di bagian tengah omprok. Pada penari seblang wilayah Bakungan,
omprok yang dipakai sangat menyerupai omprok yang dipakai dalam pertunjukan
Gandrung, hanya saja bahan yang dipakai terbuat dari pelepah pisang dan dihiasi
bunga-bunga segar meski tidak sebanyak penari seblang di Olihsari. Disamping
unsure mistik, ritual Seblang ini juga memberikan hiburan bagi para pengunjung
maupun warga setempat, dimana banyak adegan-adegan lucu yang ditampilkan oleh
sang penari seblang ini.
Upacara kesenian ritual Seblang adalah salah satu bentuk
tradisi tari sakral yang bermotivasikan agraris spiritual. Bertujuan untuk kemakmuran
masyarakat, dengan mengupayakan kesuburan tanah atau mengusir penyakit. Dengan
mengadakan Seblang, masyarakat setempat akan terhindar dari malapetaka.
Seblang Bakungan
Sejarah Seblang Bakungan
Warga Kelurahan Bakungan sudah lama menggelar Ritual Seblang,
agar dijauhkan dari segala marabahaya, mereka menggelar ritual seblang semalam
suntuk, yakni, ritual tarian yang diperankan seorang wanita tua berusia lanjut.
Tradisi ini sudah ada sejak 316 tahun silam.
Konon, mereka yang membuka perkampungan Bakungan berasal
dari Bali. Bakungan adalah salah satu nama tumbuhan yang banyak hidup di tempat
itu. Dahulu, Bakungan adalah sebuah hutan belantara yang banyak ditumbuhi
tanaman bakung.
'Seblang' berasal dari bahasa Using kuno yang berarti hilangnya
segala permasalahan dan kesusahan. Upacara ini diawali selamatan massal yang
dilakukan sesaat setelah matahari terbenam. Seluruh warga duduk di depan rumah
masing-masing sambil mempersembahkan tumpeng yang terdiri atas beberapa jenis
makanan khas. Di antaranya, pecel ayam, yaitu daging ayam yang dicampur urapan
kelapa muda. Sehari sebelumnya, beberapa tokoh masyarakat melakukan ritual
minta izin di makam 'buyut Witri'. Dia diyakini sebagai leluhur masyarakat
'Kelurahan Bakungan'. Di tempat ini, warga meminta doa sambil mengambil air
suci. Air ini nantinya digunakan penari seblang untuk penyucian dan disebarkan
kepada seluruh warga kampung.
Sebelum santap tumpeng, dukun membacakan doa-doa khusus
menggunakan bahasa Using. Isinya meminta seluruh penguasa jagat memberikan
kerahayuan kepada seluruh masyarakat. Suasana terasa mistis ketika aroma
kemenyan yang ditaburkan dukun menyebar ke seluruh arena seblang. Setelah itu,
ketua adat memukul kentongan berkali-kali sebagai pertanda selesainya upacara
tumpengan. Warga menyambut dengan pekikan ayat-ayat suci Alquran. Setelah itu
seluruh warga menyantap tumpengnya masing-masing. Selama selamatan, seluruh
anggota keluarga berkumpul di halaman rumahnya.
Sebelumnya, warga laki-laki bersama para pemuda berjalan
keliling desa sambil membawa obor. Ritual ini dimaksudkan untuk mengusir roh
jahat yang akan mengganggu desa. Mereka mengumandangkan ayat-ayat suci Alquran.
Sekitar pukul 19.30, ritual seblang dimulai. Acara ini diawali memanggil roh
yang akan masuk ke dalam tubuh penari. Setelah diberi mantra khusus, penari
kesurupan. Penari ini keturunan asli mbah buyut Witri yang diyakini leluhur
warga Bakungan, kata sesepuh adat Bakungan, 'Yalin'.
Prosesi Ritual Seblang Bakungan
Selayaknya ritual lain, secara detail Tari Seblang Bakungan
pun memiliki beberapa tahapan sebelum mencapai ritual puncak. Inilah urutan
ritual yang harus dijalankan :
1. Penari Seblang dirias dan mengenakan busana tarinya. Pada
bagian tubuh dan wajahnya, dibaluri sejenis tepung batu halus berwarna kuning
(biasa disebut atal ) yang dicampur dengan air. Lalu sang penari pergi berjalan
menuju arena dengan beberapa penyanyi perempuan dan pemilik
hajat.
2. Pada tahapan kedua ini, sang penari dikenakan mahkota
yang dihias beraneka bunga dengan beragam warna. Tak lupa, sang penari memegang
nyiru dengan tangannya. Lalu ada seorang perempuan tua yang menutup mata sang
penari dengan tangannya. Setelah itu ada sang pawang yang membakar dupa serta
merapal mantra untuk memanggil dhanyang (roh penjaga desa) yang dikenal dengan
nama Buyut Kethut, Buyut Jalil, dan Buyut Rasio agar memberkahi pertunjukan
Seblang ini. Saat nyiru yang dipegang penari Seblang itu jatuh, maka dia sudah
mulai kejiman alias kesurupan.
3. Tahap ketiga, adalah tahap pemilihan lagu untuk
mengiringi sang penari. Ada kalanya, lagu yang dimainkan tidak disetujui oleh
sang penari yang sudah trance ini. Kalau sang penari setuju, maka ia akan
berdiri dan menari dengan gemulai berlawanan dengan arah jarum jam. Kalau tidak
setuju, dia tidak mau berdiri serta memberi isyarat agar sang pengiring
memainkan lagu lain. Kadang kala, disaat jeda pemilihan lagu dan sang penari
beristirahat, disisipkan pula ritual sabung ayam.
4. Setelah ritual tari berhenti sejenak, maka ada beberapa
gadis cantik dengan kebaya memegang kembang dirma yakni bunga beraneka warna
yang dipercayai bisa mendatangkan berkah. Lalu bunga ini diberikan pada
penonton, lalu penonton memberikan derma uang ala kadarnya.
5. Tahapan ini disebut 'tundik' dan beberapa menyebutnya Ngibing,
yakni saat dimana sang penari mengajak penonton untuk ikut menari. Cara memilih
penontonnya unik, yakni sang penari Seblang melemparkan 'sampur' pada penonton.
Siapa yang ketiban sampur itu harus menari bersama penari Seblang. Suasana
menjadi ramai dan penuh tawa saat penonton lari berhamburan menghindari sampur
yang dilempar itu.
6. Inilah titik puncak dari upacara Seblang. Saat sang
pengiring memainkan laguCandradewi yang dimainkan dengan cepat, sang
penari juga berputar dengan cepat. Lalu sang penari rebah dan tergeletak
menelungkup. Saat ini petugas kembali meminta derma dari para penonton.
Seusai pertunjukkan, ada satu ritual lain yang tak afdol
rasanya jika tak diikuti. Yakni acara berebutan sesajen hasil pertanian yang
digantung di beberapa bagian kantor balai desa. Ada durian, padi, alpukat,
sirsak, pisang hingga kelapa.
Ritual Seblang Olehsari
Sejarah Seblang Olehsari
Menurut catatan di buku historis di Desa Olehsari, Seblang
pernah tidak diselenggarakan antara tahun 1943 s/d 1956. Bagi masyarakat Olehsari
ketiadaan acara Seblang seperti merasa kehilangan sesuatu. 'Pageblug'
terjadi, panen banyak gagal dan serangan penyakit terhadap ternak dan manusia
tak terhindarkan. Maka pada tahun 1957 acara tersebut dimulai lagi. Konon
suasana jadi pulih.
Prosesi Ritual Seblang Olehsari
Masih dalam suasana Lebaran, di Desa Olehsari (sekitar 5 km
sebelah barat Kota Banyuwangi) diselengarakan acara adat tahunan Seblang.
sebenarnya tak begitu sulit mencari lokasi karena arena, karena dari kejauhan
sudah terdengar musik gamelan yang "ngelangut' sekakan-akan memanggil
siapa saja untuk datang.
Walaupun prosesi dilaksanakan pada siang yang cukup terik,
disekeliling arena telah berjubel masyarakat yang akan mengikuti acara Seblang.
Dahulu diantara kerumunan penonton itu selalu dibuka jalur yang disediakan
untuk jalan tamu gaib yang naik kuda. Juga disediakan kursi-kursi
kosong. Siapapun tak berani menginjak jalur atau menduduki kursi tersebut,
karena untuk tamu-tamu gaib.
Di sebelah barat, tak kurang 8 (delapan) orang wanita
setengah baya yang bertindak sebagai penyanyi (sinden) duduk di sebuah gubuk
tak berdinding, siap mengiringi Penari Seblang. Pada gubuk yang beratapkan daun
nyiur tersebut, bergelantungan puluhan buah-buahan dan 'Poro-Bungkil' (hasil
bumi) yang merupakan simbolis kemakmuran desa.
Tak lama muncullah seorang gadis yang berpakaian aneh.
Dengan wajah bercadarkan rumbai-rumbai daun pisang muda dituntun oleh seorang
wanita setengah baya, seraya diiringi oleh puluhan orang menuju ke pusat
kegiatan upacara. Salwati (16 tahun), gadis penari seblang itu pelan-pelan
dituntun dan didudukkan di dekat 'prapen' empat asap kemenyan mengepul...
Seorang dukun atau pawang paling tua, Mbah Asnan (70 tahun),
tampak membolak-balikan nyiru kecil diatas pedupaan seraya berkomat-kamit
mebacakan mantra. Mendadak nyiru kecil tersebut disorongkan ke arah Salwati.
Saat Salwati menerima Nyiru itu, seketika itu iapun terkulai lemas tak sadarkan
diri.
Diiringi oleh para pawang sebanyak 5 (lima) orang, terdiri
dari 3 (tiga) pria dan 2 (dua) wanita kesemuanya berusia lanjut. Salwati
menjadi 'kejimen' (baca : in-trance) dan menari gontai dengan indahnya.
Terdengar mengalun gending pembuka 'Seblang Lokento' Salwati terus menari
mengelilingi arena yang luasnya 7 x 7 meter mengitari tonggak dan payung.
"Seblang yo Lokento sing dadi encakono ..." berulang-ulang
dinyanyikan oleh para pesinden dengan antusias penuh riang.
Dengan mata terpejam,penari seblang sesekali seperti
mengajak bercanda para penonton dengan mengibas-ngibaskan selendangnya.Ketika
itu pula penonton memberi semangat dengan seloroh-seloroh bernada canda. Sang
penaripun menyambut canda manis itu dengan goyang-an pinggul-nya yang indah.
Disaat rombongan koor mendendangkan tembang Kembang
Dirmo saat itu pula susunan bunga-bungaan aneka warna yang terdiri dari 5
(lima)sampai 7 (tujuh) kembang yang disusun dalam tusukan lidi mirip sate, dijajakan
kepada penonton. Maka berebutlah para muda mudi membelinya. Karena kabarnya
cukup bertuah untuk urusan cinta asmara. Adegan lain yang juga tak kurang
menarik adalah atraksi 'Ngibing'. Ini terjadi di hari ketiga dan seterusnya
dari 7 (tujuh) hari pementasan seblang. Sang penari seblang oleh para pawang
tubuhnya diangkat dan ditempatkan diatas sebuah meja yang tersedia,sehingga
tampak lebih tinggi dari penonton. Mendadak penari tersebut melemparkan
sampur ke arah penonton. Siapa saja yang tertimpa selendang (biasanya
laki-laki), haruslah bersedia menari bersama dengan sang penari Seblang. Pada
acara yang cukup atraktif tersebut, begitu seseorang selesai 'ngibing' dengan
penari Seblang, maka dliemparlah berulang kepada yang lain. Sehingga berkesan bergiliran.
Anehnya saat senja turun, terjadi adegan yang cukup
mengharukan hati. Penari Seblang tampak memperlihatakan kegirangannya tatkala
gending "Chondro Dewi" dinyanyikan. Dengan suka citanya, penari
Seblang mencapai puncak orgasme tariannya. Karenanya, ia menjadi kelelahan dan
kemudian terkulai pingsan ....
Tetapi ajaib, begitu lagu Erang-erang berkumandang,
secara fantastic kekuatan lagu sendu itu seakan membangkitkan kembali sang
penari dari pingsannya. Menurut beberapa sumber, membangkitkan kembali dari
pingsannya adalah pekerjaan sulit bagi "Pengutuk" (pawang) yang
merupakan mediator dengan mahluk halus tersebut. Harus dilakukan extra
hati-hati, karena merupakan pekerjaan yang sulit dan berbahaya. Khabarnya jika
tidak berhasil maka sang penari bisa kehilangan nyawa.
Akhirnya ketika Matahari nyaris lenyap di balik Pegunungan
Ijen, berkumandanglah tembang penutup yang berbunyi : "Sampun Mbah Ktut
sare sampun osan, yang kundangan yang muleh-muleh". Artinya kurang lebih
demikian : "Sudahlah Mbah Ketut, acara sudah berakhir, pengunjung sudah
akan pulang". Begitu usai diulang-ulang sebayak 10 (sepuluh) kali, sang
penari Seblang tampak sadar kembali layaknya orang bangun dari tidurnya.
Terbersit raut kebingungan di rona penari. Sesekali ia menyingkap rumbai-rumbai
daun yang menatap wajahnya, Salwati tampak pucat pasi. Padahal keesokan harinya
ia harus bertugas menari lagi sampai genap 7 (tujuh) hari.
Menonton Seblang di Olehsari tahun ini, ada satu hal yang
sangat menarik. Seperti diketahui, prosesi penunjukkan kandidat penari Seblang
juga tak luput dari aspek kekuatan supranatural. Setiap bulan puasa menjelang
hari raya Lebaran, gergiliran salah satu ibu rumah tangga yang biasanya berusia
30 (tiga puluh) tahun keatas kesurupan. Tahun ini adalah Mbok Sutrinah, yang
diluar kesadarannya menyebut-neyebut nama Wiwin berulang-ulang. Itu berarti
Wiwin adalah anak perawan yang tiba bergiliran menjadi penari Seblang tahun
ini.
Tetapi diluar dugaan, Wiwin yang ditunjuk oleh Roh Halus
sebagai penari Seblang tahun ini justru tidak bersedia. Mengapa sampai demikian
? Tidak takutkah dia terhadap Roh Halus ? Seorang pemuda yang saya temui di
arena pertunjukkan mengatakan : "Wiwin, heng oleh ambi sir-siranek
!!". "Wiwin tidak boleh (menari) sama pacarnya" demikian ujarnya
sambil menikmati pertunjukan Seblang.
Semenjak dahulu, penari Seblang selalu memiliki garis
keturunan dengan penari-penari Seblang sebelumnya. Sehingga, karena warga takut
dengan batalnya acara sakral tersebut, Salwati (yang masih bersaudara dengan
Wiwin) dibujuk menggantikannya. Dengan penuh kesadaran Salwati akhirnya
bersedia. Ditanya tentang konsekwensi ketidaksediaan Wiwin sebagai penari tahun
ini, seorang tetua mengatakan : "Kadung ono paran-paran, ison heng ero
jawanek !!" Artinya : "Jika ternyata terjadi sesuatu,
saya tidak tahu menahu !!' Belakangan ada isyu yang terdengar, Wiwin mengalami
"Stress dan depresi yang aneh".
Lagi Perbedaan dengan Seblang Bakungan
Secara awam jika kita perhatikan sepintas, prosesi
penyelenggaraan Seblang di Bakungan tidaklah jauh berbeda dengan di Olehsari.
Meskipun jelas banyak sekali terdapat perbedaan jika kita tinjau lebih
mendalam.
Di Bakungan persiapan Seblang dimulai dengan mempersiapkan
sesaji dan membersihkan benda-benda pusaka di 'Balai Tajuk'. Disusul dengan
pawai obor Ider bumi dengan mengumandangkan Adzan, Istigfar dan doa Qunut. Tak
ketinggalan "selamatan kampung" dengan sajian berupa Nasi Putih
dengan lauk Ayam Panggang yang dicampur kukuran kelapa dengan sayuran terung,
pakis dan kacang panjang yang tidak boleh dipotong-potong.
Waktu penyelenggaraan tidaklah sama, di Olehsari dilakukan
disekitar 3 (tiga) hari setelah Hari Raya Lebaran, dan pertunjukan dilakukan
sejak Mentari diatas kepala sampai dengan lenyap dari pandangan mata. Tetapi di
Kelurahan Bakungan, upacara dilaksanakan malam hari, selepas magrib sampai
pukul 24.00 tengah malam, dimalam Senin atau malam Jum'at pertama bulan Haji
(Besar).
Penunjukkan Siapa bakal penari Seblang di Kelurahan Bakungan
dilakukan atas dasar 'wisik gaib' yang diterima Sang Pawang, bukan lewat
seorang ibu setengah baya yang kesurupan sepertihalnya di Desa Olehsari. Dan
penari Seblang di Bakungan dilakukan oleh seorang janda tua, bukan seorang anak
perawan yang baru akil balik.
Beberapa hal yang berbeda lagi antara keduanya adalah
mengenai "Omprok" (mahkota) dan Gamelan. Di Kelurahan Bakungan,
Omprok penari dibuat secara permanen dari tahun ke tahun. Berlainan di Desa
Olehsari, setiap penampilan selalu dibuatkan Omprok baru, sebab bahannya
terbuat dari daun pisang yang cepat layu.
Sedangkan untuk instrumen musik pendukung pada Seblang
Bakungan menggunakan perangkat Gamelan Jawa Laras Selendro dan
terkadang ditambahkan Biola. namun berlainan dengan di Olehsari yang
mempergunakan 'Instrumen Banyuwangi' yang terdiri dari : Kendang, Gong, Peking,
Slenthem dan Biola.
Kemudian karena penari Seblang di Bakungan menari dengan
membawa Keris yang terhunus, sehingga di acara penutup terdapat
prosesi Manjer Keling yaitu penari Seblang menari seraya mengadu dua
Keris yang dipegangnya. Seblang di Olehsari tidak terdapat fase prosesi ini.
------------------------------^_^------------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar